Jumat, 11 Maret 2011

Hormon oksitosin dan mgso4


 Hormon oksitosin dan mgso4

HORMON OKSITOSIN
1.Hormon oksitosin dapat membantu tentara untuk lebih bersatu
Hormon oksitosin diketahui sebagai hormon yang membantu dalam proses persalinan seorang ibu. Tetapi tak hanya itu, hormon oksitosin juga dapat membantu tentara untuk bersatu melawan musuh.
Penelitian terbaru telah menemukan bahwa hormon oksitosin dapat membantu tentara untuk lebih bersatu dan pada saat yang sama juga dapat meningkatkan agresivitas untuk melawan musuh.
Temuan ini menunjukkan bahwa selain merangsang kontraksi yang kuat pada dinding rahim dan mempermudah dalam membantu proses kelahiran, efek dari hormon oksitosin juga dilepaskan selama stres dan ketika orang-orang bersosialisasi dengan satu sama lain.
Penelitian yang dilakukan dengan menggunakan perangkat simulasi komputer ini, menemukan bahwa partisipan yang diberi semprotan hormon terikat dengan lebih cepat dan mendalam dengan kelompoknya sendiri, dan menjadi lebih bermusuhan dengan orang luar alias pihak musuh.
Peneliti melakukan tiga percobaan, yang mana semua partisipannya adalah pria. Peneliti membandingkan partisipan yang menerima dosis oksitosin melalui semprot hidung dengan partisipan yang menerima plasebo.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dorongan oksitosin cenderung ‘mempertahankan’ respons, menumbuhkan kepercayaan dan kerjasama kelompok sebagai agresi terhadap kelompok pesaing.
“Oksitosin adalah pedang bermata dua. Hormon ini membuat orang lebih ramah pada kelompoknya, tetapi lebih agresif terhadap orang luar,” ujar Carsten De Dreu, dari University of Amsterdam, seperti dilansir dari IndiaVision, Senin (14/6/2010).
Dreu berpikir bahwa produksi oksitosin yang meningkat pada waktu stres dan saat ibu melahirkan, telah berkembang karena adanya faktor kelangkaan makanan di kalangan tentara sementara mereka tetap harus bertahan hidup.
“Menjadi agresif untuk melawan musuh membuat orang menjadi pahlawan, patriot dan setia kepada kelompoknya sendiri,” tambah Dreu.
Holly Arrow, seorang ahli psikologi perang di University of Oregon juga mengatakan bahwa oksitosin mungkin merupakan cara penting untuk membuat pria atau tentara bersatu dan membuatnya siap untuk mempertahankan kelompok. Hormon ini tampaknya memiliki efek yang terlepas dari bagaimana orang-orang secara alami bekerjasama.

2.Oksitosin Bagi Para Pemalu
Apakah Anda bermasalah dalam bersosialisasi? Apakah Anda termasuk orang yang memiliki perasaan malu berlebihan?
Para ilmuwan menemukan bahwa hormon oksitosin dapat membantu mengatasi orang yang memiliki masalah dalam bersosialisasi dan mengatasi rasa malu.
Oksitosin dijuluki sebagai “hormon cinta” dikenal meningkatkan empati dan ikatan, terutama orang tua dan anak-anak. Hormon ini berada dalam tubuh secara alami.
Para peneliti menemukan bahwa oksitosin dapat meningkatkan kemampuan bersosialisasi bagi si pemalu. Tetapi, oksitosin hanya memiliki sedikit efek bagi mereka yang memiliki rasa percaya diri secara alami.
Seperti dilansir Telegraph Oksitosin bisa berpengaruh bagi mereka yang bermasalah dalam sosialisasi, sering terlihat pada kondisi seperti autisme. Penelitian ini dipublikasikan dalam “Psychological Science.”
Telegraph mewartakan, para peneliti di “Seaver Autism Center for Research and Treatment” Israel dan Universitas Columbia meneliti apakah hormon itu bisa membuat kita lebih memahami yang orang lain.
Mereka melakukan tes pada 27 pria sehat. Para pria itu diberi hormon atau placebo melalui semprotan hidung dan mereka diminta melakukan tugas untuk mengukur kemampuan mereka dalam membaca pikiran dan perasaan orang lain.
Kegiatan itu termasuk melihat peserta lain mendiskusikan momen emosional dalam hidup mereka. Mereka kemudian diminta memberikan penilaian mengenai apa yang mereka rasakan.
Para ilmuwan juga mengukur kompetensi sosial para peserta dengan menggunakan tes yang disebut AQ, yang biasa digunakan pada penderita autis.
Mereka menemukan bahwa oksitosin meningkatkan kemampuan empati, tetapi hanya diantara mereka yang kurang pandai dalam bersosialisasi.
Peserta yang pandai bersosialisasi melakukan tugas dengan baik meski mereka diberi oksitosin atau tidak. Tetapi, mereka yang kurang pandai bersosialisasi melakukan tugas dengan baik berkat oksitosin, dengan kemampuan empati mereka serupa dengan peserta yang pandai bersosialisasi.
Profesor Jennifer Bartz dari Mount Sinai School of Medicine mengatakan oksotosin dipercaya membuat semua orang lebih empati dan memahami orang lain.
“Penelitian kami bertentangan dengan itu. Malahan, oksitosin tampak membantu hanya bagi mereka yang kurang pandai bersosialisasi,” katanya.
“Data kami menunjukkan bahwa oksitosin secara selektif meningkatkan kesadaran sosial pada orang yang kurang pandai bersosialisasi, tetapi memiliki sedikit pengaruh pada mereka yang pandai bersosialisasi,” kata Profesor Bartz.
Bartz menambahkan bahwa harus ada penelitian lebih lanjut. Hasil penelitian ini menyoroti potensi oksitosin untuk mengobati orang yang memiliki gangguan dalam bersosialisasi seperti autisme.(ant/hms)

MgSO4
Pada tahun 1955, Pritchard memulai sesuatu regimen terapi terstandarisasi di Parkland Hospital, dan regimen ini digunakan hingga tahun 1999 untuk menangani lebih dari 400 wanita dengan eklampsia. Hasil pengobatan 245 kasus eklampsia yang dianalisis dengan cermat ini dilaporkan oleh Pritchard (1984). Sebagian besar regimen eklampsia yang digunakan di Amerika Serikat menerapkan filosofi yang sama, prinsip-prinsipnya mencakup:
Pengendalian kejang dengan magnesium sulfat intravena dosis bolus. Terapi magnesium sulfat ini dilanjutkan dengan infus kontinu atau dosis bolus intramuskular dan diikuti oleh suntikan intramuskular berkala.
Pemberian obat antihipertensi oral atau intravena intermiten untuk menurunkan tekanandarah apabila tekanan diastolik dianggap terlalu tinggi dan berbahaya. Sebagian dokter mengobati pada saat tekanan diastolik mencapai 100 mmHg, sebagian pada 105 mmHg dan sebagian lagi pada 110 mmHg.
menghindari diuretik dan pembatasan pemberian cairan intravena, kecuali apabila pengeluaran cairan berlebihan. Zat-zat hiperosmotik dihindari.
Pelahiran
Pada kasus preeklampsia yang berat serta pada eklampsia, magnesium yang diberikan secara parenteral adalah obat anti kejang yang efektif tanpa menimbulkan depresi susunan saraf pusat baik pada ibu maupun janinnya. Obat ini dapat diberikan secara intravena melalui infus kontinu atau intramuskuler dengan injeksi intermitten. Jadwal dosis untuk preeklampsia berat sama seperti untuk eklampsia. Karena persalinan dan pelahiran merupakan saat kemungkinan besar terjadinya kejang, wanita dengan preeklampsia-eklampsia biasanya diberi magnesium sulfat selama persalinan dan selama 24 jam postpartum. Magnesium sulfat tidak diberikan untuk mengobati hipertensi. (1)
Berdasarkan sejumlah studi serta pengamatan klinis yang luas, magnesium sulfat kemungkinan besar memiliki efek anti kejang spesifik pada korteks serebri. Biasanya ibu berhenti kejang setelah pemberian awal magnesium sulfat dan dalam 1 sampai 2 jam akan sadar dan pulih orientasinya tentang tempat dan waktu. (1)
Magnesium Sulfat menunjukkan peran besar dalam eklamsia untuk mencegah kejang berulang. Cara pengobatan di Inggris beragam antar rumah sakit tetapi selalu diawali pemberian intravena magnesium sulfat 4 gram (kira-kira 16 mmol Mg 2+) dalam 20 menit disusul dengan infuse intavena dengan kecepatan 1 gram (kira-kira 4 mmol Mg 2+) tiap jam. Berulangnya kejang mungkin memerlukan bolus intravena tambahan 2-4 gram (kira-kira 8-16 mmol Mg 2+). Monitoring EKG dilaksanakan, demikian juga pengawasan tekanan darah dan pengawasan tanda klinis overdosis (hilangnya reflek patella, lemah, mual, rasa panas, flushing, mengantuk, pandangan ganda, dan slurred speech, injeksi kalsium glukonat digunakan pada manajemen toksisitas magnesium). Juga perlu untuk memantau detak jantung fetus terus-menerus.
Magnesium sulfat ; garam Inggeris ; mekanisme kerjanya didalam usus berdasarkan penarikan air (osmosis) dari bahan makanan karena tigaperempat dari dosis oral tidak diserap. Resorpsi, antara 15-30% dari dosis diserap oleh usus, yang dapat mengakibatkan kadar magnesium darah terlampau tinggi, khususnya jika fungsi ginjal kurang baik. Oleh karena itu, magnesium sulfat hendaknya jangan digunakan untuk waktu yang lama. Mulai kerjanya setelah 1-3 jam. Boleh digunakan selama kehamilan, akan tetapi masuk ke air susu ibu
Obat ini bekerja sebagai vasodilator serebral dan stabilisator membran, mengurangi iskemia dan kerusakan neuron yang mungkin terjadi. Obat ini juga bisa bekerja sebagai anti konvulsan sentral yang memblok reseptor N-methyl-D-aspartat. Magnesium sulfat mempunyai jangkauan terapi yang luas dan monitoring klinis cukup dengan mengobservasi frekuensi pernapasan, saturasi PO2 (pulse oximetry ) dan reflek perifer. Monitoring ketat kadarnya dalam serum penting khususnya jika ada penurunan ekskresi ginjal, karena kelebihan magnesium sulfat bisa menyebabkan depresi pernafasan berat dan bahkan kegagalan fungsi kardio respirasi untungnya ada antidotum kalsium glukonate yang bekerja cepat.
Penggunaan rutin magnesium sulfat sebagai profilaksi pada semua wanita dengan preeklamsia masih dipertanyakan. Meskipun demikian jika keputusan dibuat untuk menerapi wanita tersebut sebagai profilaksi selama persalinan magnesium sulfat adalah terapi ideal, terlebih lagi pada uji terbaru dengan skala yang lebih besar, magnesium sulfat lebih baik daripada phenitoin dan diazepam untuk terapi prevensi kejang berulang pada wanita eklamsia, semua wanita dengan eklamsia harus mendapat magnesium sulfat selama persalinan dan minimal 24 jam postpartum.
DOSIS PEMBERIAN MAGNESIUM SULFAT
Infus intravena kontinu
Berikan dosis bolus 4 – 6 gram magnesium sulfat yang diencerkan dalam 100 ml cairan IV dan diberikan dalam 15 – 20 menit
Mulai infus rumatan dengan dosis 2 gram/ jam dalam 100 ml cairan IV
Ukur kadar magnesium sulfat pada 4 – 6 jam setelahnya dan sesuaikan kecepatan infus untuk mempertahankan kadar antara 4 dan 7 mEq/ l (4,8 – 8,4 mg/ dl)
Magnesium sulfat dihentikan 24 jam setelah bayi lahir
Injeksi Intramuskular Intermiten
Berikan 4 gram magnesiun sulfat (MgSO47H2O USP) sebagai larutan 20% secara intravena denagn kecepatan tidak melebihi 1 gram/ menit
Lanjutkan segera dengan 10 gram larutan magnesium sulfat 50%, separuhnya (5g) disuntikkan dalam-dalam di kuadran lateral atas bokong dengan jarum ukuran 20 sepanjang 3 inci (penambahan 1 ml lidokain 2% dapat mengurangi nyeri). Apabila kejang menetap setelah 15 menit, berikan magnesium sulfat sampai 2 gram dalam bentuk larutan 20% secara intravena dengan kecepatan tidak melebihi 1 gram/ menit. Apabila wanita yang bersangkutan bertubuh besar, magnesium sulfat dapat diberikan sampai 4 gram secara perlahan-lahan
Setiap 4 jam sesudahnya berikan 5 gram larutan magnesium sulfat 50% yang disuntikkan dalam-dalam ke kuadran lateral atas bokong bergantian kiri-kanan, tetapi hanya setelah dipastikan bahwa:
refleks patella masih baik
tidak terdapat depresi pernafasan
pengeluaran urin selama 4 jam sebelumnya melebihi 100 ml
tersedia antidotum yakni glukonas calcicus
Magnesium sulfat dihentikan 24 jam setelah pelahiran
Stop pemberian MgSO4, jika
frekuensi pernapasan <>
Refleks patella (-) sampai menghilang pada kadar plasma 8-10 mEq/L
Urine <>
Kejang hampir selalu dapat diatasi bila kadar MgSO4 plasma dipertahankan 4-7 mEq/L
Lethal dose adalah kadar MgSO4 lebih dari 20 mEq/L
FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI
Magnesium sulfat USP adalah MgSO47H2O dan bukan MgSO4. Magnesium yang diberikan secara parenteral dikeluarkan hampir seluruhnya melalui ekskresi ginjal dan intoksikasi magnesium dapat dihindari dengan memastikan bahwa pengeluaran urin memadai, refleks patella atau biseps positif dan tidak ada depresi pernafasan. Kejang eklampsia ha,pir selalu dapat dicegah apabila kadar magnesium plasma dipertahankan pada 4 – 7 mEq/ l (4,8 – 8,4 mg/ dl atau 2,0 – 3,5 mmol/ l). (1)
EFEK PADA JANIN
Bayi baru lahir ibu yang mendapat pengobatan magnesium sulfat kemungkinan akan mengalami hipermagnesemia dengan gejala gagal napas, refleks yang menurun dan gejala perut kembung (akibat hipermagnesemia menekan fungsi otot polos usus sehingga menyebabkan ileus). Oleh sebab itu pada bayi baru lahir tersebut sejak menit pertama sampai 1 jam setelah lahir harus diamati :
Tangis, apakah menangis lemah atau tidak ada tangisan
Refleks, apakah lemah atau menurun
Pernapasan, apakah perlu dilakukan resusitasi atau perlu bantuan pernapasan dengan alat resusitasi
Magnesium yang diberikan secara parenteral kepada ibu dengan cepat menembus plasenta untuk mencapai keseimbangan di serum janin dalam derajat yang lebih ringan di cairan amnion (Hallak, 1993). Neonatus dapat mengalami depresi hanya apbila terjadi hipermagnesemia yang parah saat lahir. Belum pernah dijumpai gangguan neonatus pada terapi dengan meagnesium sulfat (Cunningham dan Pritchard, 1984). Apakah magnesium sulfat mempengaruhi pola frekuensi denyut jantung janin, terutama variabilitas denyut demi denyut masih diperdebatkan. Dalam sebuah penelitian acak yang membandingkan infus magnesium sulfat dengan infus salin, mendapatkan bahwa magnesium sulfat berkaitan dengan penuruanan sedikit yang secara klinis tidak bermakna dalam variabilitas frekuensi denyut jantung janin.
Sebagian penulis menyatakan adanya kemungkinan efek protektif magnesium sulfat terhadap cerebral palsy pada janin dengan berat lahir sangat rendah. Murphy (1995) mendapatkan bahwa preeklampsia yang bersifat protektif terhadap cerebral palsy, dan bukan magnesium sulfat. Namun Kimberlin (1996) tidak memperoleh manfaat tokolisis dengan magnesium sulfat pada bayi yang lahir dengan berat kurang dari 1000 gram.
EFEKTIVITAS KLINIS TERAPI MAGNESIUM SULFAT
Pada abad ke 17 di Paris, eklampsia dihubungkan dengan 50% dari semua penyebab kematian maternal. Pertama kali digunakan regimen Magnesium Sulfat adalah pada tahun 1929 di rumah sakit Chicago Lying-In, dengan pemberian Magnesium Sulfat secara intramuskular berhasil menurunkan angka kematian dari 36% menjadi 7%. Pasien-pasien dengan eklampsia di Amerika Serikat sejak tahun 1955 hingga 1980, kematian maternal sedikit demi sedikit berhasil diturunkan dengan menggunakan terapi ini. (10)
Penelitian yang dilakukan MAGPIE dengan membandingkan magnesium sulfat dan dengan pemberian plasebo, berhasil mencegah terjadinya eklampsia lebih dari 50% dari 10.000 wanita yang ikut serta. Selain itu juga mengurangi angtka kematian maternal lebih dari setengah, tetapi secara statistik hasil tidak signifikan. (10)
Pada tahun 1995, dipublikasikan hasil-hasil dari uji klinis multinasional terapi eklamsia. Studi the Eclampsia Trial Collaborative Group (1995) ini sebagian didanai oleh WHO dikoordinasikan oleh the National Perinatal Epidemiology Unit di Oxford, Inggris. Studi ini menyertakan 1687 wanita dengan eklampsia yang secara acak dibagi untuk mendapat regimen anti kejang yang berlainan. Ukuran hasil akhir yang utama adalah kekambuhan kejang dan kematian ibu. Pada satu penelitian, 453 wanita yang secara acak mendapat magnesium sulfat dibandingkan dengan 452 yang diberi diazepam. Pada penelitian lain, 388 wanita eklamptik secara acak mendapat magnesium sulfat dan dibandingkan dengan 387 wanita yang diberi fenitoin.
Wanita yang mendapat terapi magnesium sulfat mengalami 50% penurunan insiden kejang berulang dibandingkan dengan mereka yang mendapat diazepam. Kematian ibu menurun pada wanita yang mendapat magnesium sulfat, namun walupun secara klinis mengagumkan, namun perbedaan ini secara statistik tidak bermakna. Secara spesifik, terdapat 3,8 % kematian pada 453 wanita yang mendapat magnesium sulfat diabndingkan dengan 5,1 % pada 452 yang mendapat diazepam. Morbiditas maternal dan perinatal tidak berbeda di antara kedua kelompok dan tidak terdapat perbedaan dalam jumlah induksi persalinan atau SC.
Pada perbandingan kedua, wanita yang secara acak mendapat magnesium sulfat dibandingkan dengan yang mendapat fenitoin memperlihatkan penuruanan 67% dalam kejang berulang. Mortalitas ibu di kelompok magnesium lebih rendah daripada di kelompok fenitoin (2,6 versus 5,2%). Penurunan angka kematian ibu sebesar 50% yang mengesankan ini ternyata juga tidak bermakna secara statistik.
Pada perbandingan lain, wanita yang mendapat terapi magnesium sulfat lebih kecil kemungkinannya memerlukan ventilasi buatan, terjangkit pneumonia dan dirawat di ruang perawatan intensif daripada mereka yang mendapat fenitoin. Neonatus dari wanita yang mendapat magnesium sulfat secara bermakna lebih kecil kemungkinannya membutuhkan intubasi saat pelahiran dan dirawat di ruang perawatan intensif dibandingkan neonatus yang lahir dari ibu yang mendapt fenitoin.
Infark cerebral dan perdarahan adalah salah satu sebab utama kematian karena preeklampsia-eklampsia. Sejak ditemukannya magnesium sulfat sebagai vasodilator cerebral, efek entieklampsi bekerja dengan mengurangi iskemia dengan mengurangi vasospasme cerebral. Penelitian lain yang membandingkan magnesium sulfat dengan vasodilator spesifik cerebral nimodipin, memberikan hasil magnesium sulfat masih lebih efektif sebagai terapi profilaksi kejang pada preeklampsia berat. (11)
Pasien dengan pemberian nimodipin dan mendapatkan terapi hydralazine lebih banyak terjadi eklampsia apabila dibandingkan dengan magnesium sulfat yang disertai hydralazine juga (4% vs 1,1%). Pada pasien tanpa diberikan hydralazine, frekuensi terjadinya eklampsia pada pemberian nimodipin saja lebih banyak daripada dengan pemberian magnesium sulfat (1,4 vs 0,5%). (11)
Dari penelitian-penelitian di atas dapat dibuktikan bahwa pemberian magnesium sulfat secara parenteral secara signifikan dapat mencegah eklampsia. Perbedaan yang signifikan didapatkan pada perbandingan kejang postpartum yang dapat dicegah dengan penggunaaan magnesium sulfat. Dengan mengkaji penelitian dengan penggunaan magnesium sulfat dan nimodipin, teori yang menyebutkan adanya vasospasme cerebral dan iskemia adalah sebab predominan eklampsia tidak dapat dibuktikan. Karena dengan penggunaan nimodipin tidak terbukti lebih efektif dibandingkan dengan magnesium sulfat. (11)
Nimodipin kurang efektif dibandingkan dengan magnesium sulfat dalam mencegah kejang, menjelaskan bahwa kejang pada pasien preeklampsia bukan disebabkan karena perdarahan yang banyak dalam kaitannya dengan overperfusi (encephalopathy hipertensi) dan iskemi. Kejang yang lebih banyak terjadi dengan terapi nimodipin akan menjelaskan bahwa dasar dari kerja nimodipin mengurangi perlindungan vasokonstriksi dan memperburuk overperfusi. Efek ini bisa dibuktikan pada periode postpartum dimana tingkat konstriktor yang dihasilkan plasenta akan menurun. (12)



DAFTAR PUSTAKA
Cunningham, F. G., Gant N.F., Leveno K. J., Gilstrap L. C., Hauth J. C., Wenstrom K. D., 2006. Obstetri William Edisi 21. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Tuffnell DJ, Jankowicz D, Lindow SW, Lyons G, Mason GC, Russell IF, Walker JJ. Outcomes of severe pre-eclampsia/ eclampsia in Yorkshire 1999/ 2003. BJOG 2005;112:875–80.
Douglas KA, Redman CW. Eclampsia in the United Kingdom. BMJ 1994;309:1395–400.
Rambulangi J., 2003. Penanganan Pendahuluan Prarujukan Penderita Preeklampsia Berat dan Eklampsia, Cermin Dunia Kedokteran No. 139, 2003. Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar.
Sibai B., Dekker G., Kupferminc M., 2005. Lancet 365: 785–99. Department of Obstetrics and Gynecology, University of Cincinnati College of Medicine, USA.
Wiknjosastro, H, Saifuddin A. B., Rachimhadhi, T. 2005. Ilmu Kebidanan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Bagian Kebidanan dan Kandungan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Pengurus Besar IDI, Preeklampsia – eklampsia, Standar Pelayanan medis, Departemen kesehatan RI, Jateng.
Sudabrata. K, Profil Penderita Preeklamsia – Eklamsia di RSU Tarakan, artikel, bagian Kebidanan dan Kandungan RSU Tarakan, Kaltim, 2001
Josoprawiro. M, 1999. Hipertensi pada Kehamilan Preeklampsia – Eklampsia, FKUI, Jakarta.
Greene, M. F. 2003. Magnesium Sulfate for Preeclampsia. The New England Journal of Medicine Volume 348:275 – 276, January 23, 2003 Number 4.
Belfort, M. A, Anthony, J., Saade, G. R., Allen J.C. 2003. A Comparison of Magnesium Sulfate and Nimodipine for the Prevention of Eclampsia. The New England Journal of Medicine Volume 348 : 304 – 311, January 23, 2003 Number 4.
Belfort M. A., varner M. W., Dizon D. S., Grunewald C., Nisell H., 2002. Cerebral perfusion Pressure and not Cerebral Blood Flow, may be the Critical determinant of Intracranial Injury in Preeclampsia. Am J Obstet Gynecol 187 : 626 - 634

http://kireihimee.blogspot.com/2009/07/manfaat-mgso4-dalam-pengendalian-kejang.html
http://matanews.com/2010/09/27/oksitosin-bagi-para-pemalu/

Wasalamualaikum wr wb.

1 komentar:

  1. Pengendalian kejang dengan magnesium sulfat intravena dosis bolus. Terapi magnesium sulfat ini dilanjutkan dengan infus kontinu atau dosis ... magnesiumsulfat.blogspot.de

    BalasHapus